Oleh: Maemanah
(Akademisi di Universitas Sawerigading Makassar)
KABAR-SATU MAKASSAR,— Implementasi kebijakan bantuan hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Bantuan Hukum Nomor 16 Tahun 2011 masih belum maksimal dalam menciptakan keadilan terutama bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan. Dalam implementasinya, pemberian bantuan hukum diselenggarakan oleh BPHN dan dijalankan oleh organisasi bantuan hukum namun masih terdapat beberapa permasalahan dan tantangan yang tentunya juga berpengaruh ke daerah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel tahun 2016 terdapat 769.810, orang miskin dari total 8.606.375 jiwa atau 9,24% dari total jumlah penduduk. Jumlah penduduk miskin tersebut adalah sasaran penerima layanan bantuan hukum yang diberikan oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH). Realisasi penerimaan layanan bantuan hukum di wilayah hukum Sulawesi Selatan (Sulsel) berdasarkan data dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Sulsel periode 31 Desember 2016 memperlihatkan bahwa cakupan OBH penerima dana bantuan hukum oleh Kementrian Hukum dan HAM belum menyentuh keseluruhan wilayah kabupaten/kota yang ada di Sulsel. Tercatat hanya kota Makassar, kabupaten Jeneponto, kabupaten Sinjai, kabupaten Wajo, dan kabupaten Bulukumba yang telah memiliki OBH.
Data tersebut juga memperlihatkan jumlah perkara yang ditangani oleh OBH berjumlah 494 (empat ratus sembilan puluh empat) perkara yang ditangani oleh 13 (tiga belas) OBH. Rincian pemberian bantuan hukum oleh OBH secara litigasi adalah 434 (empat ratus tiga puluh empat) dan 60 (enam puluh) non litigasi. Sedikitnya jumlah perkara yang dapat ditangani oleh OBH tentulah tidak menggambarkan keseluruhan fakta mengenai kebutuhan masyarakat miskin dan kelompok rentan terhadap layanan bantuan hukum.
Adapun data dari Kementrian Hukum dan HAM kantor wilayah Sulsel menetapkan terdapat hanya 13 OBH yang terakreditasi di Sulsel, yaitu YLBHI/LBH Makassar, PBHI wilayah Sulsel, UKBH FH-Unhas, LBH Apik Makassar, LKABH-UMI, YLBH Justice Rakyat Makassar , PATUH-OI Makassar, Yayasan Patriot Indonesia, YLBH (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum) Makassar, POSBAKUMADIN Jeneponto, LBH Sinjai, LBH Bakti Keadilan, dan YLBH Sinar Keadilan.
Dari cakupan ketiga belas OBH tersebut menggambarkan bahwa layanan bantuan hukum belum secara maksimal diberikan kepada masyarakat miskin dan kelompok rentan secara menyeluruh. Kedudukan OBH masih terpusat pada wilayah tertentu saja. Ditambah lagi beberapa kendala yang dimiliki oleh OBH seperti belum tersedianya tenaga profesional hukum (advokat) yang cukup, kurangnya dukungan pemerintah daerah propinsi maupun kabupaten/kota, sulitnya menjangkau masyarakat miskin dan kelompok rentan pencari keadilan pada wilayah terpencil, kurangnya kemitraan dari instansi penegak hukum untuk memberikan informasi bantuan hukum cuma-cuma (probono), minimnya anggaran yang disediakan oleh pemerintah dan sulitnya mekanisme pencairan anggaran, serta jumlah OBH yang masih sedikit dan tidak merata di setiap kabupaten/kota di Sulsel.
Sementara pada tingkat masyarakat sebagai penerima bantuan hukum masih terdapat permasalahan seperti lemahnya pemahaman masyarakat tentang hukum, serta kesadaran masyarakat miskin dan kelompok rentan mengenai hak-haknya.
Untuk beberapa daerah di Sulsel, meski telah lebih dahulu melahirkan kebijakan bantuan hukum lokal sebelum hadirnya Undang-Undang Bantuan Hukum seperti Peraturan Walikota Makassar Nomor 63 Tahun 2009 tentang Pelayanan Bantuan Hukum Kepada Penduduk Tidak Mampu , Peraturan Bupati Sinjai Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bantuan Hukum Gratis, dan Perda Nomor 1 Tahun 2016 tentang Bantuan Hukum di Kabupaten Takalar, namun dalam implementasinya tidak efektif.
Secara substansi muatannya tetap membatasi penerima bantuan hukum karena keterbatasan terminologi kemiskinan yang berkutat pada tafsir kemiskinan secara ekonomi. Keterbatasan terminologi tersebut berpengaruh pada aksesibilitas pencari keadilan karena tidak menggunakan pendekatan faktor non ekonomi dan kelompok rentan. Pengertian kata “tidak mampu” dalam aturan lokal tersebut ditafsirkan berbeda antara pemerintah daerah sebagai penyelenggara bantuan hukum dan kelompok OBH sebagai pemberi bantuan hukum. Kata “tidak mampu” hanya diartikan tidak mampu secara ekonomi, dan tidak termasuk dalam hal ketidakmampuan terhadap akses sosial atau politik.
Dalam Dialog Nasional Program Bantuan Hukum BAPPENAS-UNDP tahun 2011 di Jakarta terungkap bahwa kelompok rentan seharusnya memiliki hak yang sama, tetapi karena lingkup terminologi miskin tersebut membuat mereka memiliki keterbatasan akses dalam kebijakan bantuan hukum nasional dan daerah. Padahal kondisi dan posisi rentan kelompok perempuan, anak, minoritas, penyandang disabilitas, ataupun masyarakat adat membuat mereka lebih berpotensi didiskriminasi di depan hukum serta mengalami pelanggaran HAM. Meskipun kemiskinan adalah suatu kerentanan, namun kelompok miskin bukanlah satu-satunya kelompok rentan yang ada di Indonesia.
Keterbatasan terminologi miskin dalam Undang-Undang Bantuan Hukum juga menjadi kendala dalam kebijakan dan implementasi bantuan hukum di beberapa daerah di Sulsel. Keterbatasan akses masih dialami oleh kelompok rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, pekerja migran, lanjut usia, dan masyarakat adat dalam program bantuan hukum yang ada di Sulsel. Layanan bantuan hukum masih terbatas melihat penduduk miskin karena keterbatasan ekonomi. Beberapa kasus yang terkait dengan masyarakat yang tergolong kelompok rentan belum diakomodir di beberapa daerah di Sulsel yang telah memiliki program bantuan hukum. Keterbatasan ini juga berpengaruh kepada OBH-OBH yang menangani kasus kelompok rentan, padahal kelompok rentan berpotensi mengalami pelanggaran HAM. Termasuk dalam konteks ini adalah keterbatasan akses layanan bantuan hukum baik litigasi maupun non litigasi bagi saksi dan atau korban dalam perkara-perkara tertentu yang dialami oleh kelompok rentan tersebut.
Hadirnya Ranperda Bantuan Hukum Propinsi Sulsel ini disamping merupakan komitmen memenuhi amanat konstitusi UUD NRI Tahun 1945 khususnya Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas penegakan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; ini juga merupakan salah satu jalan yang niscaya bagi perwujudan cita-cita filosofis berbangsa dan bernegara, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan masyarakat tidak boleh menjadi penghalang dalam mencari keadilan. Bantuan hukum kepada setiap orang tanpa adanya diskriminasi merupakan pengejawantahan demi perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 dan nilai hak asasi manusia.
Akhirnya, pembentukan peraturan daerah tentang bantuan hukum merupakan solusi yang sangat diidamkan oleh masyarakat miskin dan kelompok rentan. Peraturan daerah ini merupakan upaya implementasi dari negara hukum yang mengakui, menjamin, dan melindungi hak asasi manusia juga sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akses terhadap keadilan dan persamaan di hadapan hukum. (*)