Opini

Caleg Aktivis Dan Tugas Historis Kaum Muda

11
×

Caleg Aktivis Dan Tugas Historis Kaum Muda

Sebarkan artikel ini

oleh : Rudi hartono.

KABAR-SATU — Gerakan kaum muda sangat mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Bahkan, meminjam bahasa Bung Karno, kaum muda turut menjadi peraji lahirnya nation Indonesia ini.

Saya kira, kelahiran kesadaran akan nation Indonesia tidak lepas dari imajinasi tentang ‘tujuan bersama’ dan ‘masa depan bersama’. Imajinasi itu pula yang turut membakar semangat pemuda untuk memulai pembangunan organisasi modern, pada awal abad ke-20, yang menandai lahirnya kesadaran nasional.

Imajinasi itu pula yang membakar para pemuda, yang sebelumnya terkotak-kotak dalam semangat kedaerahan, segera mengikrarkan sumpah tentang satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa: Indonesia. Sumpah pemuda mematangkan ide nation indonesia.

Titik-tolaknya mereka adalah pengalaman hidup bersama dan persamaan nasib ditindas oleh kolonialisme Belanda. Akumulasi dari berbagai pengalaman bersama dan persamaan nasib inilah yang membentuk kesadaran nation. Lalu, mereka mengonstruksi sebuah proyek bersama untuk memperjuangkan sebuah bangsa yang merdeka, yakni wadah untuk menjelmakan tujuan bersama dan masa depan bersama.

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merumuskan cita-cita hidup bersama itu dirumuskan sebagai “masyarakat adil dan makmur”.

Dengan ambil bagian dari pembangunan nation ini, maka jelas tugas historis kaum muda adalah merealisasikan tujuan bersama dan masa depan bersama tersebut. Inilah tugas yang dipikul oleh kaum muda sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang ini.

Caleng Aktivis

Di tengah hiruk-pikuk menuju pemilu 2014, banyak pemuda yang turut ambil bagian sebagai calon legislatif (Caleg). Diantara mereka ada yang berasal dari latar belakang aktivis gerakan kaum muda. Mereka inilah yang disebut sebagai caleg aktivis.

Bagi saya, dalih untuk membenarkan penyebut “caleg aktivis” hanya jika aksi dan tujuan pencalegkan itu sejalan dengan tugas historis kaum muda untuk mewujudkan cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa, yakni memperjuangkan sebuah tatanan sosial yang mendatangkan keadilan sosial dan kemakmuran bagi rakyat.

Karena itu, untuk menguji apakah kehadiran caleg aktivis sejalan dengan tugas itu, di sini saya mengajukan tiga kriteria: pertama, keterlibatan caleg aktivis dalam arena parlemen sejalan dengan agenda gerakan rakyat. Artinya, keputusan seorang aktivis menjadi caleg bukan semata-mata karena inisiatif pribadi, tetapi karena ada mandat gerakan rakyat; kedua, keterlibatan caleg aktivis dalam pemilu memberikan keuntungan bagi gerakan rakyat.

Salah satu contoh konkretnya: memanfaatkan momentum kampanye pemilu untuk edukasi politik dan penyadaran bagi rakyat; ketiga, caleg aktivis harus memperlihatkan praktek politik yang berbeda, baik pada saat kampanye pemilihan maupun ketika sudah masuk di parlemen. Jika politisi tradisional menggunakan politik uang, menebar slogan kosong dan janji palsu, dan menjebak rakyat dalam klientalisme, maka caleg aktivis harus menampilkan gaya politik berbeda.

Tantangan Bagi Caleg Aktivis

Caleg aktivis sendiri bukan fenomena baru. Dalam pemilu 2004 dan 2009 lalu, sejumlah aktivis juga turut bertarung sebagai caleg. Beberapa diantaranya berhasil terpilih, seperti Budiman Sudjatmiko (PDIP), Pius Lustrilanang (Gerindra), dan lain-lain.

Sayang, kehadiran mereka di DPR belum memberikan kontribusi penting bagi gerakan rakyat. Selain itu, mereka juga belum berhasil menampilkan gaya politik yang berbeda dari kebanyakan politisi tradisional. Hal inilah yang membuat orang meragukan urgensi para aktivis memanfaatkan jalur parlementer untuk memperjuangkan agenda perubahan.

Saya sendiri melihat ada tiga hal yang menyimpang dari aksi politik caleg aktivis dalam kontestasi politik. Pertama, kecenderungan untuk memastikan dirinya terpilih sebagai tujuan akhir.

Padahal, seharusnya agenda utama seorang caleg aktivis adalah memanfaatkan posisinya untuk mendorong agenda-agenda kerakyatan dan perubahan melalui jalur parlemen.

Kedua, kecenderungan mengkooptasi gerakan rakyat. Misalnya, si caleg aktivis hanya mendatangi organisasi rakyat, seperti serikat buruh, organisasi tani, organisasi kaum miskin kota dan lain-lain, ketika ada momentum pemilu. Jadi kesannya hanya mencari dukungan suara. Seharusnya, seorang caleg aktivis tidak pernah berhenti berhubungan dengan gerakan rakyat.

Ketiga, kecenderungan caleg aktivis terjebak dalam formalisme dan gaya politik borjuis, seperti mengadopsi gaya hidup elit, meminta diperlakukan khusus, merasa lebih tinggi di hadapan rakyat, menciptakan “wibawa” yang dibuat-buat, dan lain-lain.

Keempat, kecenderungan memoderasi program dan inisiatif saat berkampanye dan saat duduk sebagai sebagai anggota DPR, tanpa keinginan menawarkan program dan agenda politik alternatif. Mereka selalu berdalih bahwa keadaan tidak memungkinkan mengusung program dan kampanye radikal.

Kelima, kecenderungan caleg aktivis yang terpilih sebagai anggota DPR untuk bekerja secara pasif dalam institusi yang ada, tanpa berjuang untuk merubahnya atau merubah aturan mainnya. Tindakan yang cenderung beradaptasi dengan keadaan ini justru terkadang membawa resiko buruk, seperti disorientasi ideologi dan cita-cita politik.

Memang, taktik parlementer ini memberi peluang keuntungan bagi gerakan rakyat, seperti kampanye program alternatif, mendorong regulasi pro-rakyat, advokasi terhadap persoalan rakyat, dan lain-lain. Namun, potensi terjebak dalam deformasi politik borjuis sangat besar, seperti karirisme politik, korupsi, elitisme, dan lain-lain.

Karena itu, bagi saya, tantangan terbesar dalam mempraktekkan taktik parlementer adalah memaksimalkan ‘peluang kecil’ yang bermanfaat bagi gerakan rakyat dan memiminalkan celah untuk terperangkap dalam deformasi politik borjuis.

Sumber : Berdikarionline.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *