KABAR-SATU.COM, SOPPENG — Menurut Budayawan Andi Ahmad Saransi, La Galigo adalah sebuah karya sastra yang terbentang sepanjang zaman.
Diakuinya, Epos yang panjangnya melebihi Mahabharata tersebut berisi kisah di abad lalu, yang sempat menjadi kepercayaan diantara masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan.
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) ini menyebutkan, Galigo adalah karya sastra terbesar yang dimiliki Indonesia, bahkan sudah diakui dunia sebagai Memory of the World oleh UNESCO. Namun, Kitab I La Galigo tersebut berbahasa Proto Bugis (Bugis Kuno) bercampur bahasa Sansekerta. Dan sangat kurang mengerti bahasa tersebut.
Ia mengatakan, orang yg pertama menerjemahkan naskah I La Galigo tersebut adalah H. La Side Daeng Tapala yang merupakan putra kelahiran Soppeng pada bulan Desember 1912 silam.
Andi Ahmad Saransi menyebutkan H La Side Daeng Tapala menerjemahkannya atas permintaan dari Prof. R.A. Kern dari University Laiden – Belanda.
Atas permintaan itu maka naskah Lontara La Galigo itu mulai diterjemahkan oleh Pak La Side sejak tahun 1967. Hasil terjemahan itu diterbitkan oleh Gajah Mada University pada tahun1989 dengan judul I LA GALIGO,” katanya saat di hubungi melalui whats App, Rabu(26/09/2018)
“Setelah Pak La Side sukses menerjemahkan naskah tersebut maka menyusul kemudian putra Soppeng yang bernama Prof. Faharuddin Ambo Enre Kemudian dilanjutkan oleh Drs. H. Muhammad Salim sebanyak 12 jilid. (Baru Jilid 1 dan 2 telah diterbitkan).
Lalu kemudian Prof. Dr. Nuhayati Rahman dgn Judul Sompeqna Sawerigading, dan terakhir Dr. Andki Akhmar dgn judul Bottinna I La Dewata Sibawa I We Attaweq.
Atas jasa besar Pak La Side menyingkap tabir kegelapan I La Galigo tersebut, maka pada tahun 2017 Presiden Jokowidodo menganugerahkan penghargaan Bintang Satya Lancana Kebudayaan kepada beliau,” tambahnya.